A.
Kerangka Berpikir Aliran Ilmu Kalam
Mengkaji
aliran-aliran ilmu kalam pada dasarnya merupakan upaya untuk memahami kerangka
berfikir dan proses pengambilan keputusan para ulama aliran teologi dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Perbedaan kesimpulan satu dengan
kesimpulan lainnya dalam mengkaji suatu objek tertentu merupakan suatu hal yang
bersifat natural.[1]
Mengenai
sebab-sebab pemicu perbedaan pendapat, ada dua pendapat diantaranya, yaitu:
1. Ad-Dahlawi; Tampaknya lebih menekankan aspek subjek
pembuatan keputusan sebagai pemicu perbedaan pendapat. Penekanan serupapun
pernah dikatakan Imam Munawwir. Ia mengatakan bahwa perbedaan pendapat di dalam
Islam lebih dilatarbelakangi adanya beberapa hal yang menyangkut kapasitas dan
kredibilitas seseorang sebagai figur pembuat keputusan.
2. Umar Sulaiman Asy-Syaqar; Ia lebih menekankan aspek
objek keputusan sebagai pemicu
terjadinya perbedaan pendapat. Menurutnya, ada tiga persoalan yang menjadi
objek perbedaan pendapat, yaitu:
a. persoalan keyakinan (aqa’id),
b. persoalan syariah, dan
c. persoalan ekonomi.[2]
Perbedaan
metode berfikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu
kerangka berfikir rasional dan metode berfikir tradisional. Metode berfikir
secara rasional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut ini:
1. Hanya terikat dengan dogma-dogma yang dengan jelas dan
tegas disebutkan dalam Al-Quran dan Hadis Nabi, yakni ayat yang qath’i (teks
yang tidak diinterpretasi lagi kepada arti lain, selain arti harfinya).
2. Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan
berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal.[3]
3. Fokus dalam prinsip berfikir rasional adalah lebih
dominannya peran akal sehingga harus lebih ekstra keras berupaya untuk
menanamkan suatu ajaran atau konsep kepada orang lain.
Jadi
dominannya aspek rasionalisme dalam ilmu kalam akhirnya menjadikan pemikiran
ini jatuh ke wilayah pemikiran metafisika yan lebih bersifat spekulatif dan
melampaui batas-batas kemampuan dan daya serap pikiran manusia biasa. Adapun
metode berfikir tradisional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung
arti zhanni (teks yang boleh mengandung arti lain selain dari arti harfinya).
2. Tidak memberikan kebebasan pada manusia dalam
berkehendak dan berbuat.
3. Memberikan daya yang kecil kepada akal.[4]
Ada tiga
berometer, sekurang-kurangnya untuk melihat dan mengetahui suatu aliran, yaitu:
kedudukan akal dan fungsi wahyu, perbuatan dan kehendak manusia, serta keadilan
atau kehendak mutlak Tuhan. Ciri teologi rasional adalah:
1. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi, karena dalam
memahami wahyu, aliran ini cenderung menggambar arti majazi,
2. Manusia bebas berbuat dan berkehendak. Karena akal
kuat, manusia mapu berdiri sendiri
3. Keadilan Tuhan menurut pendapat ini, terlatak pada
adanya hukum alam (sunatullah) yang mengatur perjalanan alam ini.
4. Mengatakan bahwa Tuhan bersifat immateri, tak dapat
dilihat dengan mata kepala.
5. Mengatakan sabda Tuhan atau kalam bukanlah bersifat
kekal tetapi bersifat baharu dan diciptakan Tuhan.[5]
Adapun ciri
teologi tradisional:
1. Akal mempunyai kedudukan yang rendah. Karena dalam
memahami wahyu, aliran ini cenderung
mengambil arti lafzhi atau literal.
2. Manusia tidak bebas bergerak dan berkehendak.
3. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan menurut paham ini,
bukanlah sunatullah. Namun benar-benar menurut kehendak mutlak Tuhan.
4. Teologi ini menganggap Tuhan dapat dilihat oleh
manusia dengan mata kepala di akhirat nanti. Faham ini sejajar dengan pendapat
mereka bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat tajassum atau antropomorphisme,
sungguhpun sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat jasmani manusia.
5. Mengatakan bahwa sabda adalah sifat, dan sebagai sifat
Tuhan mestilah kekal.[6]
Teologi
liberal dengan keadaannya banyak berpegang pada logika lebih sesuai dengan jiwa
dan pemikiran kaum terpelajar. Sebaliknya teologi tradisionil, dengan teguhnya
berpegang pada arti harfi dari teks
ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis ditambah dengan kurangnya ia menggunakan logika,
kurang sesuai dengan jiwa dan pemikiran golongan terpelajar.
Teologi
liberal, selanjutnya dengan pembahasanya yang bersifat filosofis, sukar dapat
ditangkap oleh golongan awam. Tetapi teologi tradisionil, dengan uraiannya yang
sederhana, mudah dapat diterima oleh kaum awam.[7]
Aliran
teologi yang sering disebut-sebut memiliki cara berfikir teologi rasional
adalah Mu’tazilah. Oleh karena itu, Mu’tazilah dikenal sebagai aliran yang
bersifat rasional dan liberal. Adapun teologi yang sering disebut-sebut
memiliki metode berfikir tradisional adalah Asy’ariyyah.
Disamping
pengatagorian teologi rasional dan tradisional, dikenal pula pengatagorian
akibat adanya perbedaan kerangka berfikir dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan kalam.
1.
Aliran
Antroposentris
Aliran
anroposentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat intrakosmos
dan impersonal. Ia berhubungan erat dengan masyarakat kosmos. Baik yang natural
maupun yang supranatural dalam arti unsur-unsurnya. Manusia adalah anak kosmos.
Unsur supranatural dalam diri merupakan sumber kekuatannya. Tugas manusia
adalah melepaskan unsur-unsur natural yang jahat. Dengan demikian manusia harus
mampu menghapus kepribadian kemanusiannya untuk meraih kemerdekaan dari lilitan
naturalnya. Orang yang tergolong dalam kelompok ini berpandangan negatif
terhadap dunia karena menganggap keselamatan dirinya terletak pada kemampuannya
untuk membuang semua hasrat dan keinginannya. Sementara ketakwaan lebih
diorientasaikan kepada praktek-praktek pertapaan dan konsep-konsep magis.
Tujuan hidupnya bermaksud menyusun kepribadiannya kedalam realita impersonalnya.
Anshari
menganggap manusia yang berpandangan antroposentris sebagai sufi adalah mereka
yang berpandangan mistis dan statis. Padahal manusia antroposentris sangat
dinamis karena menganggap realitas transenden yang bersifat intrakosmos dan
impersonal datang kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir. Daya
itu berupa potensi yan menjadikannya mampu membedakan mana yang baik dan mana
yang jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan memperoleh keuntungan melimpah
(surga), sedangkan manusia yang memilih kejahatan, ia akan memeroleh kerugian
melimpah pula (neraka). Dengan dayanya, manusia mempunyai kebebasan mutlak
tanpa campur tangan realitas transenden. Aliran teologi yang termasuk dalam
kategori ini adalah Qadariah, Mu’tazilah dan Syi’ah.
2.
Teolog
Teosentris
Aliran
teosentris menganggap bahwa hakikat transenden bersifat suprakosmos, personal
dan ketuhanan. Tuhan adalah pencipta segala sesuatu yang ada di kosmos ini. Ia
dengan segala kekuasaan-Nya mampu berbuat apa saja secara mutlak. Sewaktu-waktu
ia dapat muncul pada masyarakat kosmos. Manusia adalah makhluk ciptaan-Nya
sehingga harus berkarya hanya untuk-Nya. Didalam kondisi yang serba relatif,
diri manusia adalah migran abadi yang akan segera kembali kepada Tuhan. Untuk
itu manusia harus mampu meningkatkan keselarasan dengan realitas tertinggi dan
transenden melalui ketakwaan. Dengan ketakwaannya, manusia akan memperoleh
kesempurnaan yang layak, sesuai dengan naturalnya. Dengan kesempurnaan itu
pula, manusia akan menjadi sosok yang ideal, yang mampu memancarkan
atribut-atribut ketuhanan dalam cermin dirinya. Kondisi semacam inilah yang
pada saatnya nanti akan menyelamatkan nasibnya di masa yang akan datang.
Manusia teosentris adalah manusia yang statis karena sering terjebak
dalam kepasrahan mutlak kepada Tuhan. Sikap kepasrahan menandakan ia tidak
mempuyai pilihan. Baginya segala perbuatannya pada hakikatnya adalah aktivitas
Tuhan. Ia tidak mempunyai pilihan lain, kecuali apa yang telah ditetapkan
Tuhan. Dengan cara itu Tuhan menjadi penguasa mutlak yang tidak dapat diganggu
gugat. Tuhan bisa saja memasukkan manusia jahat kedalam keuntungan yang
melimpah (surga). Begitu pula, Dia dapat memasukkan manusia yang taat dalam
situasi yang serba rugi yang terus-menerus (neraka).
Aliran
teosentris menganggap daya menjadi potensi perbuatan baik atau jahat manusia
bisa datang sewaktu-waktu dari Tuhan. Oleh sebab itu, ada kalanya manusia mampu
melaksanakan sesuatu perbuatan tatkala ada daya yang datang kepadanya.
Sebaliknya ia mampu melaksanakan suatu perbuatan apapun tatkala ia ada daya
yang datang kepadanya. Dengan perantara daya, Tuhan selalu campur tangan.
Bahkan bisa dikatakan manusia tidak ada daya sama sekali terhadap segala
perbuatannya. Aliran teologi yang tergolong dalam kategori ini adalah
Jabbariyah.
3.
Aliran
Konvergensi atau Sintesis
Aliran
konvergensi menganggap hakikat realitas transenden bersifat supra sekaligus
intrakosmos personal dan impersonal. Lahut dan nashut, makhluk dan Tuhan,
sayang dan jahat, lenyap dan abadi, tampak dan abstrak, dan sifat-sifat lainnya
yang dikotomik. Ibnu Arabi menamakan sifat-sifat yang semacam ini dengan
insijam al-azali (prestabilished harmny). Aliran ini memandang bahwa manusia
adalah tajjahatau cermin asma dan sifat-sifat realitas mutlak itu. Bahkan,
seluruh alam (kosmos), termasuk manusia, juga merupakan cermin asma dan
sifat-Nya yang beragam. Oleh sebab itu, eksistensi kosmos yang dikatakan
sebagai pencipta pada dasarnya adalah penyingkapan asma dan sifat-sifat-Nya
yang azali.
Aliran konvergensi
memandang bahwa pada dasarnya, sagala sesuatu itu berada dalam ambigu (serba
ganda), baik secara substansial maupun formal. Sesuatu substansial, sesuatu
mempunyai nilai-nilai batini, huwiyah dan eternal (qadim) karena merupakan
gambaran Al-Haq. Dari sisi ini, sesuatu dapat dimusnahkan kapan saja karena
sifat makhluk adalah profan dan relatif. Eksistensinya sebagai makhluk adalah
mengikuti sunatullah atau natural law(hukum alam) yang berlaku.
Aliran ini
berkeyakinan bahwa hakikat daya manusia merupakan proses kerja sama antar daya
yang transendental (Tuhan) –dalam bentuk kebijaksanaan-- dan daya temporal
(manusia) dalam bentuk teknis. Dampaknya, ketika daya manusia tidak
berpartisipasi dalam proses peristiwa yang terjadi pada dirinya, daya yang transendental
yang memproses suatu peristiwa yang terjadi pada dirinya. Oleh karena itu, ia
tidak memperoleh pahala atau siksaan dari Tuhan. Sebaliknya, ketika terjadi
suatu peristiwa pada dirinya, sementara ia sendiri telah berusaha melakukannya,
maka pada dasarnya kerja sama harmonis antara daya transendental dan daya
temporal. Konsekuensinya, manusia akan memperoleh pahala atau siksaan dari
Tuhan, sebanyak andil temporalnya dalam mengaktualkan peristiwa tertentu.
Kebahagiaan,
bagi para penganut aliran konvergensi, terletak pada kemampuannya membuat
pendulum agar selalu tidak jauh ke kanan atau ke kiri, tetapi di tengah-tengah
antara ekstrimitas. Dilihat dari sisi ini, Tuhan adalah sekutu manusia yang
tetap, atau lebih luas lagi bahwa Tuhan adalah sekutu makhluk-Nya, sedangkan
makhluk adalah sekutu Tuhannya. Ini karena, baik manusia atau makhluk merupakan
suatu bagian yang tidak terpisahkan sebagaiman keterpaduan antara dzat Tuhan
dan asma serta sifat-sifat-Nya. Kesimpulannya, kemerdekaan kehendak manusia
yang profan selalu berdampingan determinisme transendental Tuhan yang sakral
dan menyatu dalam daya manusia. Aliran teologi yang dapat dimasukkan ke dalam
kategori ini adalah Asy’ariyah.
4.
Aliran
Nihilis
Aliran
nihilis menganggap bahwa hakikat realitas transendental hanyalah ilusi. Aliran
ini pun menolak Tuhan yang mutlak, tetapi menerima berbagai variasi Tuhan
kosmos. Manusia hanyalah bintik kecil dari aktivitas mekanisme dalam suatu
masyarakat yang serba kebetulan. Kekuatan terletak pada kecerdikan diri manusia
sendiri sehingga mampu melakukan yang terbaik dari tawaran yang terburuk.
Idealnya, manusia mempunyai kebahagiaan yang bersifat fisik, yang merupakan
titik sentral perjuangan seluruh manusia.[8]
Semua
aliran teologi dalam Islam, baik Asy’ariyah, Maturidiyah apalagi Mu’tazilah
sama mempergunakan akal dalam menyelesailkan persoalan-persoalan teologi yang
timbul di kalangan umat Islam. Perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu
ialah perbedaan dalam derajat kekuasaan yang diberikan kepada akal. Kalau
Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat, Asy’ariah
sebaliknya berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang lemah.
Semua
aliran juga berpegang kepada wahyu. Dalah hal ini, perbedaan yang terdapat
antara aliran-aliran itu hanyalah perbedaan dalam interpretasi mengenai teks
ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis. Perbedaan interpretasi inilah yang sebenarnya
menimbulkan aliran-aliran yang berlainan itu. Hal ini juga tidak obahnya
sebagai hal yang terdapat dalam bidang hukum Islam atau Fiqih. Disana juga,
perbedaan interpretasilah yang melahirkan mazhab-mazhab seperti yang dikenal
sekarang, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab
Hambali.[9]
B. Hubungan Ilmu Kalam Dengan Ilmu Tasawuf
1. Persamaan Ilmu Kalam Dengan Ilmu Tasawuf
Ilmu kalam dan tasawuf mempunyai kemiripan objek
kajian. Objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan-Nya. Ilmu kalam merupakan salah satu ilmu Islam yang mengkaji
akidah (doktrin).[10] Sementara
itu objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan
terhadap-Nya. Jadi, dilihat dari objeknya, kedua ilmu ini membahas masalah yang
berkaitan dengan ketuhanan.
Bagi ilmu
kalam maupun tasawuf berurusan dengan
hal yang sama yaitu kebenaran. Ilmu kalam dengan metodenya sendiri berusaha
mencari kebenaran tentang Tuhan yang berkaitan dengan-Nya. Sementara itu,
tasawuf juga dengan metodenya yang dipakai berusaha menghampiri kebenaran yang
berkaitan dengan perjalanan spritual menuju Tuhan. Pada intinya bahwa ilmu
kalam maupun tasawuf memliki kesamaan dalam segi objek kajiannya, yaitu tentang
Tuhan dan segala yang berkaitan dengan-Nya. Namun dalam kajian objek tersebut
hanya dibedakan dalam penamaannya saja. Ilmu kalam dalam objek kajiannya
dikenal dengan sebutan kajian tentang Tuhan, sedangkan dalam ilmu tasawuf
(irfan) dikenal dengan sebutan kajian tentang Al-Haq. Akan tetapi pada dasarnya
ketiga ilmu tersebut mengkaji kajian tentang Tuhan dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan-Nya.
2. Perbedaan Antara Ilmu Kalam Dengan Ilmu Tasawuf
Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika di
samping argumentasi-argumentasi naqliah berfungsi untuk mempertahankan
keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai-nilai apologinya. Pada
dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika (jadaliah) dikenal juga dengan
istilah dialog keagamaan. Sebagian ilmuwan bahkan mengatakan bahwa ilmu ini
berisi keyakinan-keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama,
serta pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional. Meskipun
ilmu kalam merupakan sebuah disiplin ilmu yang rasional dan logis, namun kalau
dilihat adari asas-asas yang dipakai dalam argumentasinya terdiri dari dua
bagian, yaitu ; Aqli dan Naqli.[11]
Bagian Aqli ini terbangun dengan dasar pemikiran yang rasional murni, itupun
kalau ada relevansinya dengan Naqli. Karena naqli tersebut adalah untuk
menjelaskan dan menegaskan pertimbangan rasional supaya memperkuat
argumen-argumennya.
Sedangkan ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih
menekankan rasa dari pada rasio. Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh
dari rasa, ilmu tasawuf bersifat
subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Itulah sebabnya,
bahasa tasawuf sering tampak aneh bila dilihat dari aspek rasio. Hal ini karena
pengalaman rasa sulit dibahasan. Pengalaman rasa lebih muda dirasakan langsung
oleh orang yang ingin memperoleh kebenaranya dan mudah digambarkan dengan
bahasa lambang, sehingga sangat interpretable (dapat diinterpretasikan
bermacam-macam). Sebagian pakar mengatakan bahwa metode ilmu tasawuf adalah
intuisi, atau ilham, atau inspirasi yang
datang dari tuhan. Kebenaran yang dihasilkan ilmu tasawuf dikenal dengan
istilah kebenaran hudhuri, yaitu suatu kebenaran yang objeknya datang dari dalam
diri subjek sendiri. Itulah sebabnya dalam sains dikenal istilah objeknya tidak objektif. Ilmu seperti ini dalam sains
dikenal dengan ilmu yang diketahui bersama atau (tacit knowledge), dan
bukan ilmu proporsional.
Didalam pertumbuhannya, ilmu kalam (teologi)
berkembang menjadi teologi rasional dan teologi tradisional. Tasawuf
selanjutnya berkembang menjadi tasawuf praktis dan tasawuf teoritis.
3. Hubungan Ilmu Kalam Dengan Ilmu Tasawuf
Ilmu kalam dan tasawuf merupakan bagian dari ilmu-ilmu
yang membahas persoalan agama dan ketuhanan. Ilmu kalam dan tasawuf sama-sama
mengajarkan manusia mengenai Tuhan, Pencipta, kepercayaan terhadap agama, dan
segala keterkaitaannya. Dalam hal ini tentu dalam sudut pandang islam.
Yang menjadi berbeda adalah ilmu tasawuf membahas
persoalan agama dari sudut pandang keruhanian, kesucian jiwa, cinta, dan
hubungan dengan Allah secara langsung. Sedangkan ilmu kalam membahasnya dengan
sudut pandang ilmu logika atau rasional pengetahuan. Untuk itu, kedua-duanya
sama-sama ingin menuju tujuan yang sama, namun dari sudut pandang atau
pendekatan yang berbeda. Berikut fungsi dari keduanya dan Hubungan Tasawuf
dengan Ilmu Kalam.
a. Ilmu Kalam Memperkuat Keyakinan Melalui Akal Logis
Rasional
Ilmu kalam juga memegang peranan penting dalam
pemahaman agama seseorang. Ilmu kalam memperkuat aspek rasionalitas dan logika
dari manusia terhadap keimanan pada Tuhan dan Agama. Ilmu kalam yang salah
dipelajari tentu akan menjadi salah pemahaman atau kekeliruan keyakinan. Namun,
secara umum akal manusia mengarah kepada hal yang objektif dan tidak
sembarangan menyimpulkan, hanya hawa nafsu yang dapat menyimpulkan seperti itu.
Jika manusia memiliki keyakinan tanpa akal rasional tentu akan mudah rapuh
terombang ambing oleh dialegtika yang bisa saja terjadi atau diberikan oleh
orang-orang yang menantang keyakinan ajaran islam.
2. Tasawuf
Memperkuat Keyakinan Melalui Pendekatan Jiwa atau Perasaan
Adanya ajaran tasawuf memperkuat keyakinan islam
melalui jiwa atau perasaan manusia. Untuk itu, perasaan atau jiwa ini
dihidupkan agar tidak kering atau merasa hampa hanya dengan pendekatan rasional
atau logika. Manusia memiliki fungsi akal dan jiwa, untuk itu keduanya harus
digunakan dan diolah agar dapat sesuai dengan ajaran islam itu sendiri, yang
hakikatnya adalah ketundukan dan ketaatan hanya kepada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah,
Analisa Perbandingan,UI Press, Jakarta, 1996.
Razak, Abdul. dan Anwar, Rosihon, Ilmu Kalam, Cet.
III, CV Pustaka Setia, Bandung, 2007.
<http://adji-anginkilat.blogspot.com/2010/10/rasional-dan-tradisional-dalm.html?m=1>
“Makalah
Kerangka Berfikir aliran-aliran”.Zakia Putri. Maret 2013. Web 19 Februari 2019.
<http://zakiaputeri94.blogspot.com/2013/03/makalah-kerangka-berfikir-aliran-aliran_1721.html>
“Perbedaan Mendasar Ilmu Kalam, Filsafat Islam, Dan Tasawuf”.Taufik
Rahmatullah. 20 Desember 2012. Web 19
Februari 2019.<https://taufikrahmatullah.wordpress.com
/2012/12/20/perbedaan-mendasar-ilmu-kalam-filsafat-islam-dan-tasawu/>
[5] Nasution, Harun, Teologi
Islam: Aliran-aliran Sejarah, Analisa Perbandingan,UI Press, Jakarta, 1996,
hlm.143
Komentar
Posting Komentar